Tupperware mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 ke pengadilan di Delaware, Amerika Serikat. Perusahaan yang telah berdiri puluhan tahun dan lekat di hati ibu rumah tangga ini harus menelan pil pahit berada di ambang kebangkrutan.

Salah satu alasan dari kebangkrutan Tupperware ialah tak mampu bersaing dengan kompetitor hingga menyebabkan penurunan penjualan. Namun, ada alasan lain dari bangkrutnya bisnis Tupperware yang bisa menjadi pelajaran bagi business owner. Simak penjelasannya di bawah ini. 

1. Penurunan Penjualan setelah Covid-19

Selama pandemi Covid-19, Tupperware memang mengalami peningkatan penjualan, karena tren memasak di rumah. Namun setelahnya, dan beberapa tahun terakhir ini, Tupperware harus menerima fakta pahit bahwa penjualan terus menurun. 

Hal ini ditandai dengan penjualan turun 18% menjadi sekitar US$ 1,3 miliar pada tahun 2022 dari tahun 2021. Penurunan penjualan ini berimbas pada posisi Tupperware yang berada di ambang kebangkrutan.

Menurut Kepala Eksekutif Tupperware, Laurie Goldman, Tupperware resmi ajukan bangkrut setelah mengalami kerugian karena adanya penurunan penjualan. Perusahaan yang telah berdiri puluhan tahun ini tampaknya tidak bisa memenuhi keinginan pasar.

“Selama beberapa tahun terakhir, posisi keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi makro yang menantang,” kata CEO Tupperware Laurie Goldman, dikutip dari Reuters, pada Jumat (20/09/2024).

Baca Juga: Cara Menghitung Cash Flow, Lengkap dengan Rumusnya!

2. Produk Tupperware Termakan Zaman

Adapun alasan lain Tupperware mengajukan kebangkrutan lantaran produk mereka termakan zaman dan tidak mampu bertahan di tengah kompetitor yang semakin inovatif. Produk Tupperware memang melekat pada ibu rumah tangga.

Desainnya pun terbilang simpel, berwarna-warni, dengan kualitas bahan yang diklaim tahan lama. Namun sayangnya, Tupperware kesulitan dalam menggaet konsumen gen Z yang lebih memilih produk dengan tampilan modern dengan harga ramah di kantong.

3. Terlilit Utang Ratusan Triliun

Meskipun telah eksis selama 78 tahun, Tupperware nyatanya terlilit utang dan berpotensi tidak mampu membayarnya. Pasalnya,  Tupperware yang terus mengalami kerugian besar selama bertahun-tahun hingga kini terlilit utang mencapai Rp167 triliun lebih. 

Perusahaan ini mencatatkan perkiraan aset sebesar US$ 500 juta (Rp 7,75 triliun) hingga US$1 miliar (Rp 15,5 triliun) dan perkiraan kewajiban sebesar US$ 1 miliar (Rp 15,5 triliun) hingga US$ 10 miliar (Rp 155 triliun), menurut pengajuan kebangkrutan di Pengadilan Kebangkrutan AS untuk Distrik Delaware. 

Sebelum secara resmi mengajukan kebangkrutan, Tupperware telah berupaya mengubah bisnisnya selama sekitar empat tahun, setelah mencatat penurunan penjualan selama enam kuartal berturut-turut sejak kuartal ketiga 2021, akibat inflasi tinggi yang terus mengganggu basis konsumen berpenghasilan rendah dan menengah.

Baca Juga: Pentingnya Laporan Arus Kas untuk Kelola Pengeluaran Bisnis

4. Lonjakan Biaya Operasional

Agaknya permasalahan penurunan penjualan, utang, dan minat konsumen, semakin diperparah dengan lonjakan biaya operasional Tupperware. Adanya lonjakan biaya pengiriman, bahan baku, dan tenaga kerja telah menekan Tupperware.

Perusahaan sudah berupaya membalikkan keadaan selama bertahun-tahun, tetapi, mereka tidak lagi bisa mendanai operasional bisnis, kecuali meraup keuntungan besar.  Akibatnya, Tupperware menutup pabriknya di South Carolina, AS  pada tahun 2024 ini dan sebanyak 148 karyawan terpaksa mengalami PHK. 

5. Saham Tupperware Terus Anjlok 

Alasan terakhir, saham Tupperware yang terus anjlok. Pada tahun 2023, saham Tupperware anjlok sebesar 68 persen. Saham Tupperware juga telah anjlok sebanyak 74,5 persen pada  2024 dan terakhir diperdagangkan hanya seharga 51 sen.

Saham yang anjlok tentunya menyebabkan kekhawatiran di kalangan investor. Sepanjang sejarahnya, Tupperware yang telah berdiri sejak tahun 1946 oleh Earl Tupper ini telah menjadi brand kesukaan ibu-ibu rumah tangga, khususnya di Indonesia. 

Dari kasus Tupperware, business owner harus lebih siap dalam menghadapi tantangan dan menjaga keberlangsungan usaha. Layaknya Tupperware, salah satu permasalahan yang umum dalam bisnis adalah penurunan penjualan yang berdampak pada pemasukan. 

Agar pemasukan bisnis kamu lancar, kamu perlu mengelola tagihan bisnis agar lebih lancar. Melakukan penagihan terhadap buyer cukup dengan Paper.id sebagai platform invoicing yang mampu membuat, membayar, hingga mengirim invoice digital secara otomatis. Kamu bisa membuat invoice digital yang telah tersedia template-nya.

Invoice dari Paper,id juga telah dilengkapi e-Materai dari PERURI. Buyer pun akan dikirimkan pengingat otomatis untuk membayar invoice-nya, sehingga kamu tak perlu mengingatkan buyer satu per satu. Buyer juga bisa membayar melalui metode QRIS, VA, Tokopedia, Shopee, Blibli, hingga kartu kredit untuk tambahan tempo pembayaran. Tunggu apalagi? 

Kamu juga tak perlu khawatir karena daftar Paper.id gratis dan mudah. Pastikan kamu bisa menikmati fitur lengkap Paper.id dengan menyelesaikan verifikasi bisnisnya seperti panduan berikut!

Paper.id