Komisi XI DPR serta Pemerintah telah menyepakati RUU (Rancangan Undang Undang) bea meterai. RUU tersebut diteruskan ke pembahasan tingkat II atau untuk disahkan menjadi sebuah undang-undang dalam paripurna DPR.
Kebijakan tersebut nantinya akan menggantikan UU nomor 13 tahun 1985 yang berisi tentang bea meterai. Undang Undang itu hanya mengatur dokumen dalam bentuk kertas dan belum menyentuh dokumen elektronik.
Diberlakukan mulai 2021, dipotensi dapat mendongkrak penerimaan negara
Dilansir dari DPR.go.id, kebjiakan tersebut nantinya akan mendongkrak penerimaan negara. Kenaikannya diprediksi dapat mencapai Rp 11 triliun dengan potensi pendapatan berasal dari dokumen elektronik hingga Rp 5 triliun pada tahun 2021 mendatang.
Undang Undang tersebut berisi 32 pasal serta 6 klaster yang akan menggantikan UU no.13 tahun 1985. UU sebelumnya berisi biaya meterai untuk dokumen kertas dengan nilai Rp 3000 dan Rp 6000. Ketua Panitia Kerja (PANJA) RUU Bea Meterai, Amir Uskara menyebutkan bahwa UU yang baru akan menggantikan UU lama yang tidak ada perubahan selama 35 tahun.
Baca juga: Rahasia produktivitas Marc Jacobs dengan AP Automation
UU bea meterai lama vs meterai baru
Awalnya, biaya meterai tercatat hanya 2 jenis seharga Rp3000 untuk dokumen dengan nominal Rp250000 hingga Rp1000000 dan Rp6000 untuk dokumen resmi yakni, akta-akta notaris, PPAT, surat perjanjian dan sebagainya. Meterai Rp6000 juga diperuntukkan dokumen dengan nilai nominal lebih dari Rp1000000.
Lewat UU yang baru, biaya meterai akan diberlakukan satu saja yakni Rp10000 dengan ketentuan sebagai berikut:
- Tarif tunggal
- Untuk dokumen-dokumen resmi seperti akta-akta notaris, PPAT, surat perjanjian dan sebagainya
- Dokumen dengan nilai nominal lebih dari Rp5000000
Dokumen dengan nilai nominal dibawah Rp5000000 tidak akan dikenakan bea meterai. Menteri keuangan Indonesia, Sri Mulyani mengatakan bahwa UMKM termasuk dokumen dengan nilainya dibawah atau sama dengan Rp5 juta tidak akan dikenakan bea meterai tersebut seperti dilansir dari hukumonline.com.
Pemberlakuan UU yang akan berlaku mulai awal Januari 2021 tersebut juga dilakukan untuk mengikuti perkembangan teknologi zaman sekarang. Selain itu, perlu adanya penyetaraan untuk pengenaan nilai pajak pada dokumen kertas dan digital.
Baca juga: Implikasi buruk duplicate payment dan bagaimana cara mengatasinya
Tujuh poin penting dalam RUU bea meterai digital
Menurut Sri Mulyani, ada 7 poin penting yang diberlakukan untuk RUU bea meterai digital tersebut seperti berikut:
- Adanya penyetaraan akan pajak dari sebuah dokumen. Hal ini tidak diberlakukan pada Undang Undang 13/1985. Hal ini dilakukan agar dapat menjangkau pengaturan bea meterai yang akan diterapkan pada dokumen elektronik.
- Penyesuaian tarif berupa tarif tunggal senilai Rp10000. Pemberlakuan tersebut diharapkan dapat memberikan angin segar bagi UMKM.
- Penyempurnaan akan pengaturan tentang saat terutang dan subjek bea meterai secara mendetil pada setiap jenis dokumen.
- Perkembangan teknologi membuat UU tersebut akan diberlakukan sebagai langkah nyata untuk pengenaan bea meterai pada dokumen elektronik.
- Adanya fasilitas pembebasan dari bea meterai kepada dokumen tertentu yang digunakan untuk aktivitas penanganan bencana alam, kegiatan bersifat keagamaan dan sosial, dan program untuk mendukung pemerintah dan melaksanakan perjanjian yang bersifat internasional.
- Penyesuaian lain kepada RUU bea meterai seperti pengaturan sanksi administrative akan ketidakpatuhan dan keterlambatan akan pemenuhan kewajiban pembayaran dari bea meterai.
- Pemberlakuan UU yang akan dilakukan mulai 1 Januari 2021. Hal ini dilakukan karena adanya pandemi COVID-19 serta upaya sosialisasi kepada masyarakat agar memberikan waktu yang cukup dalam persiapan sarana dan pra-sarana untuk mendukung implementasi terjadinya UU yang baru ini.
- Fraud, Istilah Kecurangan yang Sering Terjadi dalam Dunia Bisnis - Januari 29, 2024
- Khusus Pengguna Garuda Indonesia, Gratis Paper+! - Januari 11, 2024
- Contoh Jurnal Akuntansi Keuangan yang Benar - Januari 1, 2024