BPJS Kesehatan merupakan cara pemerintah Indonesia untuk memperhatikan para warganya. Progam Jaminan Kesehatan ini telah ada sejak Januari 2014 silam. Menurut data yang diambil oleh pihak BPJS hingga awal tahun 2018, peserta yang telah terdaftar di program ini mencapai 187 juta jiwa. Kurang lebih 72% dari total jumlah keseluruhan penduduk di tanah air.
Direktur Utama BPJS, Fachmi Idris mengatakan jika masih ada sekitar waktu dua tahun ke depan untuk mencapai target yang diinginkan. Pihak BPJS menargetkan 95% dari total seluruh penduduk Indonesia. Jika target tersebut tercapai, Indonesia bisa dibilang sukses menggaet warga negaranya untuk mengikuti program pemerintah. Setelah itu, konsistensi harus diperlukan agar para peserta yang terdaftar mau terus membayar premi perbulan.
Dalam mengatur biaya premi perbulan, BPJS Kesehatan membaginya ke dalam tiga tahap, yakni Kelas I, II dan III sesuai dengan kemampuan warga negara. Jika dirinci, besaran premi yang dibayar perbulannya adalah berturut-turut, 80 ribu, 51 ribu dan 25 ribu. Semua anggaran tersebut sudah tercantum di dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2006.
Ironisnya, dari skema yang telah tersusun rapih tersebut, defisit anggaran BPJS Kesehatan masih saja kerap terjadi. Bak penyakit menahun, setiap tahunnya, pemerintah selalu harus menanggung rugi yang tidak sedikit. Dimulai dari tahun perdana, BPJS mengalami tunggakan mencapai 3,3 triliun dan terus meningkat di tahun selanjutnya, yakni 5,7 triliun, 9,5 triliun. Hingga yang terbaru pada tahun ini, defisit anggaran BPJS Kesehatan mencapai puncaknya, yakni lebih dari 15 triliun.
Lantas, apa penyebabnya dan kenapa ‘tunggakan’ semacam ini selalu terjadi dan berulang pada setiap tahunnya?
Penyebab Defisit Anggaran BPJS Kesehatan
Tunggakan BPJS Kesehatan terjadi pasti ada penyebabnya. Menurut situs resmi sendiri, selama tahun 2018 ini, jumlah pasien meningkat dari tahun sebelumnya. Pengidap pasien kronis menjadi fokus utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Sebab, hingga Agustus 2018, BPJS menanggung biaya pasien penyakit katastropik mencapai 12 triliun atau 21% dari jumlah total keseluruhan anggaran.
Untuk mengurangi masalah penyakit kronis semacam ini, Pemerintah tengah berusaha untuk menggalakan pola hidup sehat, seperti makan teratur, olahraga rutin hingga hal-hal sederhana lainnya. Kesadaran dari masyarakat agar menjauhi makan-makanan cepat saji juga perlu ditingkatkan lagi. Biasanya, pemerintah akan membuat sebuah iklan edukatif untuk menghimbau masyarakat sebagai tindakan preventif yang dirasa paling efektif.
Meningkatnya defisit anggaran BPJS juga terjadi lantaran rendahnya biaya iuran premi bulanan yang dilakukan para peserta. Walaupun telah memiliki 187 juta jiwa pendaftar, hanya 54% atau sekitar 107 juta jiwa saja yang aktif membayar setiap bulannya. Dengan kata lain, masih banyak peserta yang tidak sadar jika iuran mereka sangat berpengaruh terhadap kesembuhan masyarakat lainnya.
Dugaan Penggelapan Dana
Defisit anggaran BPJS Kesehatan juga menjadi perhatian khusus dari Menteri Kesehatan, Nila Moeloek. Ia menganggap jika ada yang aneh dari aturan baru, yakni mengurangi jaminan kesehatan di dalam berbagai sektor. Salah satu yang tidak luput dari perhatiannya adalah pengurangan anggaran terkait penyakit katarak, rehabilitasi medik dan kesehatan bayi.
Menkes Nila Moeloek memprotes kebijakan dari Dirut BPJS yang bernama Fachmi Idris dan menilai jika kebijakan pengurangan nilai tersebut tidaklah masuk akal. Namun, sang pemimpin Jaminan Kesehatan tersebut memiliki alasan tersendiri di balik pemangkasan biaya itu. Menurut data yang diambil dari BPJS, biaya operasi katarak membengkak dengan angka 2,6 triliun lebih besar dibandingkan dari penyakit kronis, seperti jantung, kanker dll.
Angka itu dinilai oleh Fachmi sangat tidak masuk akal dan ia menganggap jika ada dugaan penggelapan dana yang terjadi. Menurutnya, bagaimana bisa biaya pembayaran katarak atau operasi mata lebih besar dibandingkan penyakit kronis. Tidak jelas siapa yang dituduh namun yang pasti, ada oknum yang dianggapnya terlibat di dalam ‘penggelembungan’ dana itu.
Menambal Biaya BPJS
Tunggakan yang ditanggung oleh BPJS pada tahun 2018 ini mencapai belasan miliar rupiah. Oleh karena itu, Jaminan Kesehatan Indonesia tersebut membutuhkan ‘infus’ biaya dari pemerintah. Namun, BPJS hanya mendapatkan tambahan dana dari APBN sebanyak 4,5 triliun, jauh dari harapan yang diinginkan pihak pengelola. Sebab, jumlah tersebut masih sangat jauh dari total kekurangan yang mencapai 16,5 triliun,
Minimalnya dana bantuan dari Pemerintah, membuat BPJS harus mencari ‘tambalan’ dana dari pihak lain. Apabila tidak mendapatkan ‘uang segar’ dalam waktu dekat, masyarakat pasti akan terkena imbasnya. Seluruh aktivitas kesehatan akan terganggu dan merugikan semua pihak, baik itu pasien sebagai penderita hingga perangkat rumah sakit, seperti dokter, suster dan staf lainnya.
Untuk itu, pemerintah mengambil keputusan untuk menggunakan pajak bea cukai dan rokok untuk menutupi defisit anggaran BPJS. Keputusan ini dinilai sangat bijak sebab Dirjen Bea Cukai, Sunaryo, mengatakan jika pemasukkan dari sektor ini mencapai 148 triliun. Itu berarti, jika dipotong pajak 10%, ada sekitar dana bersih mencapai 14,8 triliun yang bisa digelontorkan untuk ‘menyelamatkan’ asuransi Kesehatan di Indonesia.
Pajak Rokok Tutup Biaya Pajak Seluruhnya?
Dengan pendapatan mencapai 148 triliun di tahun ini, pajak rokok yang tersedia dan dapat digunakan mencapai 14,8 triliun rupiah. Akan tetapi, Pemerintah dipastikan tidak bisa menggunakan seluruh dana tersebut dan dialokasikan ke BPJS Kesehatan. Sebab, nilai dana talangan yang dapat diambil hanyalah sekitar 75% dari setengah jumlah total pajak tersebut. Jadi, dari jumlah 7 triliun, hanya 5 triliun saja yang bisa digunakan.
Jika pajak rokok hanya mendapatkan 5 triliun dan ditambahkan dengan suntikan dana dari pemerintah sebesar 4,5 triliun, BPJS baru mempunyai dana segar sekitar 9,5 triliun. Apakah dengan dana tersebut seluruh defisit dapat terpenuhi? tentu saja tidak. Masih ada sisa beberapa triliun lagi yang harus didapatkan oleh pihak BPJS. Lantas, dari mana biaya sisa yang harus didapatkan?
Ironi Pembayaran Kesehatan
“Sekarang, satu-satunya pahlawan tanpa tanda jasa adalah PEROKOK. Guru yang dulunya dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa kini sudah dipamrihi dengan tanda sertifikasi. Mana sertifikasi PEROKOK yang cukainya saja menyumbang 150 T pertahun? kami ikhlas… kami ridho… kami legowo,” cuit Sudjiwo Tedjo melalui akun twitter pribadinya menyerukan penggunaan pajak rokok untuk BPJS Kesehatan.
Itu merupakan salah satu contoh dari ribuan cuitan di media sosial mengenai penggunaan pajak rokok untuk menambal kekurangan defisit anggaran BPJS Kesehatan tahun 2018. Banyak yang mengatakan keheranan terkait dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sebagian besar dari mereka mengatakan hal itu sebagai ironi karena Pemerintah membayar orang sakit dengan menggunakan dana penyebar “penyakit”.
Sejatinya, penggunaan cukai rokok untuk membiayai kesehatan tidak hanya terjadi di Indonesia. Ada beberapa negara Asia Tenggara yang bisa dijadikan sebagai perbandingan, yakni Filipina dan Thailand. Keduanya telah menetapkan sejumlah alokasi dana yang pastinya tidak sedikit. Masing-masing, keduanya meningkatkan nilai cukai rokok menjadi 16,5 triliun untuk Thailand dan 70,2 triliun untuk Filipina.
Hasilnya, tendensi atau pengaruh dari dana tersebut ternyata sangat berguna sekali untuk pemeliharaan kesehatan seluruh masyarakatnya. Bahkan di Filipina, pajak bea cukai dan rokok berada di peringkat nomor kedua sebagai pemasukkan terbesar di sebuah negara.
Belajar dari Jaminan Kesehatan Tertua di Dunia
Defisit Anggaran BPJS Kesehatan sepertinya akan terus terjadi apabila pemerintah tidak bisa menemui solusi jangka panjangnya. Premi perbulan yang dibayarkan oleh setiap peserta masih belum mampu menutup biaya pengeluaran yang cukup besar. Jika sudah seperti ini, BPJS sepertinya harus belajar dari salah satu jaminan kesehatan tertua di dunia yang berada di Inggris, yakni National Health Service (NHS).
NHS dibuat sejak tahun 1948 atau tiga tahun tepat setelah Inggris mengalami kebangkrutan setelah kalah di Perang Dunia ke-2. Kala itu, Menteri Kesehatan Inggris, Aneurin Bevan menjanjikan jika seluruh warga di Britania Raya akan mendapatkan akses kesehatan secara gratis tanpa memandang kasta mereka. Pernyataan tersebut tentu mengundang tawa banyak kalangan yang menganggap jika Bevan hanya bergurau.
Pada saat itu, ada satu pertanyaan yang menguap ke permukaan ,” bagaimana cara membayar jaminan kesehatan apabila setiap pasien yang berobat tidak dimintai bayaran satu poundsterling pun?”
Melalui NHS, Bevan tidak mendapatkan dukungan dari asosiasi dokter lantaran mereka merasa jika profesi mereka membutuhkan tanggung jawab yang besar dan ‘bayaran’ yang besar pula. Sementara di NHS, mereka hanya akan dipekerjakan sebagai ‘pekerja’ yang akan mendapatkan bayaran perbulan. Padahal, dokter di sana saat itu bisa membuka praktik sendiri yang mana dapat menghasilkan bayaran lebih besar.
Titik Balik National Health Service
Walaupun tidak mendapatkan dukungan dari dokter, terobosan Bevan ternyata disetujui oleh mahasiswa kedokteran di Inggris. Pada akhirnya, NHS terbentuk dan masyarakat pun berbondong-bondong menuju ke tempat tersebut karena mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. Tak lama berselang, para dokter yang semulanya tidak setuju, berbalik dan mendukung NHS. Sebab, rumah sakit yang mereka bangun tidak laku lagi.
Seluruh sumber pemasukkan dari NHS diambil dari pajak sehingga masyarakat tidak merasa terbebanil lagi. Setiap tahunnya, porsi dana yang diberikan terus meningkat. dari semula yang hanya berkisar 11,5% hingga saat ini mencapai 30,1%. Namun, NHS masih terus berdiri lantaran mereka juga mendapatkan banyak sokongan dana dari pihak investor dan pihak asing.
Lebih lanjut, Perdana Menteri Inggris yang bernama Theresa May juga mengatakan apabila National Health Service tersebut akan mendapatkan dana tambahan mencapai 20 milyar euro setiap tahunnya hingga 2023 mendatang. Beliau tidak mengatakan sumbernya akan tetapi itu merupakan hadiah dari dividen brexit dan kenaikan pajak.
BPJS Bisa Ikuti NHS?
Berkembang pesatnya NHS bisa menjadi acuan bagi BPJS Indonesia dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun, ada beberapa poin penting yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu, salah satunya adalah penggunaan anggaran negara. NHS menggunakan subsidi pemerintah sedangkan BPJS masih tergantung dengan premi perbulan yang dibayarkan oleh setiap peserta dengan jumlah nominal yang berbeda.
Penggunaan uang bulanan dari peserta nyatanya tetap tidak bisa membantu anggaran BPJS. Tercatat, sejak tahun 2014 lalu, Program Jaminan Kesehatan ini selalu mengalami defisit dengan nilai yang terus meningkat. Imbasnya, Pemerintah harus terus ‘membobol’ rekening demi menambal kekurangan tersebut. Jika penggunaan biaya perbulan saja tidak menutupi, bagaimana dengan 100% penggunaan uang dari pajak, berapa ratus triliun yang harus dikeluarkan setiap tahunnya?
Selain itu, BPJS juga harus mengubah sistemnya yang mana mengharuskan setiap peserta berobat di tempat yang sesuai dengan pendaftarannya. Dengan kata lain, setiap peserta hanya bisa menuju ke satu rumah sakit yang sama. Lantas, bagaimana apabila mereka berada di luar kota? otomatis, BPJS tersebut tidak dapat digunakan. Hal ini juga harus diubah agar lebih fleksibel dan pelayanan masyarakat dapat maksimal.
Sulit memang membandingkan BPJS Kesehatan dengan NHS. Namun yang pasti, pemerintah akan terus berusaha memberikan pelayanan terbaik terhadap seluruh rakyatnya.
Sumber: Beberapa Media Ternama dan Situs Resmi BPJS Kesehatan
- Kwitansi Pembelian Barang: Pengertian dan Contohnya - Desember 15, 2024
- Procurement: Definisi dan Jenisnya yang Wajib Dipahami Business Owner - Desember 6, 2024
- Promo Double Miles Untuk UNIVERSECARD Diperpanjang, Cek di Sini! - November 20, 2024